Aku
tak habis pikir, bagaimana Ibu yang begitu cantik mau menikah dengan
Ayah yang … ah, tidak tega aku menyebutnya. Ayah dan Ibu memang sungguh
berbeda. Seperti langit dan comberan, begitu istilah Ayah
setiap mengatakan perbedaan dirinya dan Ibu –tentu saja dengan nada
bercanda. Langit dan bumi saja sudah jauh, apalagi dibandingkan dengan
comberan –yang letaknya tentu lebih rendah dari permukaan bumi.
Kulit
Ibu putih, bersih, tidak ada noda sedikit pun. Ibaratnya, kalau Ibu
minum kopi, kopinya akan kelihatan meluncur dari mulut ke perut lewat
lehernya yang indah itu. Sebaliknya, kulit Ayah hitam. Sudah hitam,
banyak pulaunya.
“Yang
ini bekas jatuh waktu mengejar layangan, yang ini diseruduk sepeda,
yang ini kena petasan, yang ini disosor bebek, yang ini…” kata Ayah
menunjuk peta pulau di kakinya dan menjelaskan bagaimana pulau-pulau itu
didapat.
Ayah menjelaskan itu dengan riang gembira. Seolah-olah pulau-pulau di kakinya adalah sesuatu yang indah dan harus dibanggakan.
“Ayah norak, ih!”
Ayah malah tertawa. Sebelnya, Ibu juga ikut tertawa.
“Tahu
tidak, selain kaki dengan pulau seribu ini, Ayah juga punya karunia
lain yang sangat besar dari Tuhan. Karunia itu adalah wajah dan kulit
Ayah.”
Mulutku menganga, mataku melotot. Tapi Ayah malah tertawa berderai.
“Kamu tahu apa maksud Ayah?” tanya Ibu ikut campur.
Aku menggeleng. Dengan gaya dibuat-buat, Ayah menjelaskan.
Sumber :
http://www.ceritaanak.org/index.php?option=com_content&view=article&id=76%3Aayah-si-buruk-rupa&catid=40%3Acerita-anak-modern-orisinil&Itemid=60&limitstart=1



Posting Komentar