Dari
 segi fisik, ia adalah pemuda yang kekar. Badannya sehat dan kokoh. 
Namun sayang, penampilannya nampak semrawut. Hidupnya tak memiliki arah 
yang jelas. Kerjanya hanya nongkrong dan nongkrong. Menghabiskan waktu 
dengan percuma di gardu pojok desa dengan teman-temannya. Bahkan, tidak 
jarang, ia hanya bengong di sana seorang diri. Ia merasa hidupnya tak 
berguna lagi setelah beberapa usaha yang ia rintis akhirnya kandas di 
tengah jalan. Pernah juga, ia bekerja pada orang lain tapi akhirnya 
keluar juga. Tidak betah karena merasa selalu diperintah. 
Pagi
 hari ketika semua orang bangun dan segera berangkat ke tempat kerja 
masing-masing, pemuda tersebut biasanya masih terlelap tidur, dan baru 
akan terbangun ketika hari sudah siang. Dan dengan langkah lunglai serta
 tatapan kosong, ia akan ke gardu tersebut. Begitulah hari-hari yang ia 
lalui. Mengalir tanpa makna dan manfaat sedikit pun. 
Suatu
 hari, pemuda tersebut diajak berburu ke hutan oleh pamannya. “Daripada 
tak ada yang kamu kerjakan, mending ikut paman berburu kijang di hutan,”
 ajak Sang Paman. “Bagaimana, mau?” 
Dia tak langsung menyahut tapi malah mengeluh, “yah, kok ke hutan sih paman, apanya sih yang menarik di sana?”
“Khan,
 sudah paman bilang tadi,” jawab Sang Paman. “Kita hanya mau berburu. 
Titik! Kalau kamu tidak mau, ya sudah, paman berangkat sendiri.” 
“Tapi masa aku ikut dengan tangan hampa begini?” 
“Ya sudah, cepat sana, ambil senapan satunya lagi!”
Akhirnya,
 berangkatlah mereka berdua ke hutan. Tapi baru setengah perjalanan, si 
Pemuda mengeluh, “Aduh paman, kita beristirahat dulu ya? Capek nih!” 
Sang
 Paman hanya bisa memandangi keponakannya dengan geleng-geleng kepala. 
“Parah benar anak ini,” bisiknya dalam hati. “Bagimana sudah hilang 
capeknya? Yuk, kita berjalan lagi!”
Baru
 beberapa langkah kaki tiba-tiba, “Ssssst…!” bisik Sang Paman pada 
pemuda tersebut sambil menempelkan jari telunjuknya di depan mulutnya, 
“Tenang…tenang….!”
“Ada apa paman?” tanya pemuda itu dengan berbisik pula.
“Kamu lihat di sana! Dibalik semak-semak itu.”
“Semak yang mana paman? Yang mana?
“Itu…tu…yang di sebelah kiri pohon besar itu! Kamu lihat?”
“Ya, paman,” jawabnya.
“Ada apa?”
“Seekor kijang.”
“Betul
 sekali!” ujar Sang Paman. “Sekarang kamu arahkan senapanmu dan 
tembaklah kijang itu! Kamu siap?” kata pamannya dengan suara yang nyaris
 tak terdengar karena terlalu lirih. Takut kalau-kalau kijang itu 
mendengarnya dan lari.
“Siap paman!” 
Pemuda
 itu mulai membidikkan ujung senapannya ke arah kijang di balik semak 
itu ketika tiba-tiba, “Ciiit….ciiit…ciiiit….,” tepat di atas kepalanya. 
Pada sebuah dahan pohon manggis, dua ekor monyet sedang bertarung sengit
 memperebutkan kepemilikan atas pohon itu. Monyet yang lebih besar itu 
pun menang dan berhasil mengusir monyet satunya.
Suara
 berisik dua ekor monyet itu telah membuat kijang buruannya berlari. 
Hilanglah kini kesempatan emas untuk mendapatkannya. “Sialan!” umpatnya,
 “Dasar monyet!”
Karena
 kesal, pemuda itu memutuskan untuk menembak monyet yang tengah asyik 
bergelayutan kesana-kemari di dahan pohon manggis untuk memilih-milih 
buahnya. Namun, ada hal ganjil menurutnya, ketika dia perhatikan bahwa 
monyet tersebut selalu membuang buah manggis yang dia petik setelah baru
 digigitnya sedikit.
“Satu…dua….tiga….,” pemuda itu menghitung buah yang dilempar monyet itu, “Empat…lima…enam…..” 
“Hai…ayo
 kita kejar kijang itu. Paling, dia tidak jauh dari sini!” ajak 
pamannya. Tapi, pemuda itu tetap di tempatnya. Memperhatikan ulah si 
monyet. Dia pun tak jadi menembak monyet tersebut. Akhirnya, dia 
ditinggalkan oleh pamannya. “Aku akan mengejar kijang itu! Kamu tunggu 
saja di sini,” kata pamannya.
Ulah
 monyet tersebut telah membuatnya terheran-heran. Dalam perjalanan 
pulang dengan pamannya, si pemuda memberanikan diri bertanya tentang apa
 yang dilihatnya, “Paman, kenapa monyet itu selalu membuang buah manggis
 manis yang dia petik. Padahal, baru digigitnya sebentar. Dan sebiji pun
 buah manisnya belum dia rasakan?”
Si
 paman tersenyum mendengar pertanyaan keponakannya. “Itulah mengapa 
orang bijak mengatakan: Jadi manusia jangan seperti monyet makan 
manggis,” jelas pamannya. “Itu adalah gambaran bagi seseorang yang mudah
 bosan dan menyerah ketika bertemu sedikit halangan dan cobaan pada 
sesuatu hal yang dia geluti. Padahal, sebenarnya, di balik itu semua 
terdapat kesuksesan yang menjanjikan. Manusia dengan karakter seperti 
itu, tidak akan pernah mengetahui kebaikan yang terkandung dalam setiap 
persoalan hidup. Persis seperti si monyet yang membuang manggis yang 
baru sedikit digigitnya. Karena kulit manggis pahit, dia segera membuang
 buah manggis itu. Padahal, di dalamnya ada buah yang manis rasanya.”
Sepanjang
 perjalanan pulang itu, Si pemuda hanya diam. Dia menyerap nasihat 
pamannya dengan penuh perhatian. Dia merasa nasihat pamannya memang 
benar. “Aku tidak ingin menjadi seperti monyet itu!” tekadnya dalam 
hati. “Aku harus bangkit dari keterpurukan ini untuk menyongsong 
kesuksesan hidup.”
Bilif Abduh
Caxwiet @yahoo. co.id

 


Posting Komentar