Berkat
 kerja keras dan selalu menabung, petani itu akhirnya kaya raya. Karena 
tak ingin tetangganya tahu mengenai kekayaannya, seluruh tabungannya 
dibelikan emas dan dikuburnya emas itu di sebuah lubang di belakang 
rumahnya. Seminggu sekali digalinya lubang itu, dikeluarkan emasnya, dan
 diciuminya dengan penuh kebanggaan. Setelah puas, ia kembali mengubur 
emasnya.
          Pada suatu hari, seorang penjahat melihat perbuatan petani itu. Malam harinya, penjahat itu mencuri seluruh emas si petani.
          Esok
 harinya petani itu menangis meraung-raung sehingga seluruh tetangga 
mengetahui apa yang terjadi. Tak seorang tetangga pun tahu siapa yang 
mencuri emasnya. Jangankan soal pencurian, tentang lubang berisi emas 
itu saja mereka baru tahu hari itu. Kalau tidak ada pencurian, tak ada 
yang tahu bahwa petani itu memiliki emas yang dikubur di belakang 
rumahnya. Sebagian orang ikut bersedih atas pencurian itu, sebagian yang
 lain mengejek dan menganggap petani itu bodoh.
          “Salah
 sendiri menyimpan emas di rumah. Mengapa tidak dijual saja dan uangnya 
dipakai untuk membangun rumah. Biar rumahnya lebih bagus, tidak reot 
seperti sekarang. Itulah ganjaran orang kikir. Kalau dimintai sumbangan,
 selalu saja jawabannya tidak punya. Sekarang, rasakan sendiri!”
          Tetapi
 tak seorang pun yang berani terus terang mengejek atau mengumpat petani
 yang ditimpa kemalangan itu. Semua ejekan dan umpatan hanya diucapkan 
di antara sesama mereka saja, tidak di hadapan si petani. Hanya seorang 
lelaki tua miskin yang berani bersikap jujur kepada petani itu. Lelaki 
tua itu tinggal tak jauh dari rumah si petani.
          “Sudahlah,
 begini saja. Di lubang bekas emas itu kuburkanlah sebongkah batu atau 
apa saja dan berlakulah seperti sebelum kau kecurian.”
          Mendengar itu, si petani marah.
          “Apa
 maksudmu? Kau mengejekku, ya? Yang hilang itu emas, bukan batu. Kau 
sungguh tetangga yang jahat. Kau memang orang miskin yang cuma bisa 
mengubur batu. Aku bisa mengubur emas atau apa saja semauku. Kini aku 
kehilangan emas dan kau enak saja menyuruhku mengubur batu. Kau pikir 
batu sama dengan emas?!”
          Suasana pun gaduh. Orang-orang melerai.
          Dengan tenang lelaki tua itu menjawab:
          “Apa
 bedanya emas dan batu? Kalau kau bisa mengubur emas, seharusnya kau 
juga bisa mengubur batu. Tahukah kau, dengan mengubur emas berarti kau 
telah menjadikan logam mulia itu sebagai barang yang tidak berharga. 
Lalu, apa salahnya kau mengubur batu dan berkhayal yang kau kubur itu 
adalah emas.”
  (Diceritakan kembali oleh: Prih Suharto. Sumber: Sketches for a Portrait of Vietnamese Culture)
prih_suharto @ yahoo . com

 


Posting Komentar