Selama
 ini aku selalu berhasil melarang Ayah datang ke sekolah: mengantar, 
menjemput, atau untuk keperluan lain. Tentu saja aku tidak 
terang-terangan melarang. Aku punya cara supaya Ayah tidak merasa aku 
larang ke sekolah. Seperti musim pengambilan rapor kemarin dulu, 
misalnya.
“Ibu saja yang mengambil rapor, Yah. Ayah ‘kan capek,” kataku ketika itu.
“Tapi besok ‘kan Sabtu. Ayah libur, tidak ke mana-mana.”
“Setiap
 hari Ayah ‘kan kerja, cuma libur hari Sabtu dan Minggu. Jadi, Sabtu dan
 Minggu jatah Ayah duduk manis di rumah, baca-baca, nonton tivi, atau 
siram-siram bunga. Tenang saja, Yah. Dijamin, pokoknya raporku keren,” 
kataku mencoba ‘melarang’ Ayah ke sekolah.
“Oke, deh,” jawab Ayah dengan gayanya yang khas.
“Yes!” aku berteriak –dalam hati, tapi-- sambil mengepalkan tangan.
Kadang-kadang
 aku suka merasa berdosa karena sering menghalang-halangi Ayah ke 
sekolah. Habis, aku harus bagaimana. Kalau Ayah ke sekolah, semua 
temanku akan tahu penampilan ayahku tidak cool seperti ayah 
mereka. Bukan karena tidak bisa berdandan, tapi karena Ayah memang tidak
 menarik, baik wajah maupun postur tubuhnya. Sudah tidak tampan, kurus 
pula.
Sumber :
 http://www.ceritaanak.org/index.php?option=com_content&view=article&id=76:ayah-si-buruk-rupa&catid=40:cerita-anak-modern-orisinil&Itemid=60

 


Posting Komentar