Shasa
mengintip melalui pintu kamar mama yang sedikit terbuka. Dilihatnya
mama sedang separuh bersandar di tempat tidurnya. Dua tumpuk bantal
mengganjal punggungnya. Perhatiannya tertuju pada buku yang ada di
tangannya.
“Ma,” panggil Shasa.
Mama mengangkat pandangan matanya. “Ada apa, Cantik?” tanya mama.
Shasa terkikik-kikik mendengarnya. Senang rasanya dipanggil Cantik tapi terkadang lucu juga.
Mama menatap putrinya yang berpipi chubby. “Ditanya kok malah tertawa?” tanya mama lagi.
Shasa melangkah masuk ke dalam kamar. Dinaikinya tempat tidur mama kemudian membaringkan tubuhnya disamping mama.
“Karangan Shasa terpilih untuk diikutsertakan dalam lomba tingkat daerah, Ma,” kata Shasa.
“Wah… hebat dong..,” puji mama.
Shasa terdiam. “Tapi Shasa sebel, Ma,” kata Shasa.
“Loh, kenapa?” tanya mama heran. “Bukannya seharusnya Shasa senang?”
Shasa kembali terdiam. “Senang sih, Ma.. tapi..”
“Tapi.. apa?” Mama bertanya ingin tahu. Ditutupnya buku yang ada di tangannya.
“Masa’
temen-temen Shasa bilang gini, wajar saja kalau karangan Shasa terpilih
ikut lomba. Mama Shasa kan pengarang. Iya sih, mama mengajarkan Shasa
cara membuat karangan tapi karangan ini kan Shasa yang membuatnya. Shasa
kan jadi sebel,” Shasa nyerocos. Bibirnya cemberut. Pipinya
menggembung.
Mama
tersenyum simpul mendengar ocehan putri sulungnya. “Jadi, gimana dong?
Mama harus berhenti menulis gitu?” Mama bertanya meledek. “Supaya kalau
karangan Shasa nanti menang tidak dihubung-hubungkan dengan mama?”
Shasa
terdiam. Mulutnya masih cemberut. “Ya, nggak gitu juga, Ma,” katanya
setelah terdiam beberapa saat. “Masa’ mama harus berhenti menulis cuma
gara-gara begitu aja sih?”
Mama
menepuk lengan Shasa. “Nah, kalau begitu, biarkan saja teman-teman
Shasa berkomentar seperti itu. Tidak perlu dimasukkan ke dalam hati.
Bisa jadi mereka sebenarnya ingin bisa mengarang sebaik Shasa.”
Shasa kembali terdiam. Mulutnya tidak lagi cemberut.
“Begini
saja deh,” Mama kembali menepuk lengan putrinya itu. “Kalau teman-teman
Shasa mau, mereka bisa belajar menulis karangan sama mama.”
“Beneran, Ma?” Shasa bertanya memastikan.
“Beneran,”
mama menegaskan. “Nanti mereka bisa mengirim karangan yang mereka buat
ke majalah dinding sekolah atau ke majalah anak-anak.”
Shasa
menepuk lengan mama dengan semangat. “Oke deh, Ma, nanti Shasa beritahu
teman-teman Shasa.” Shasa bangkit dengan semangat. Sebelah kakinya
sudah hampir menjejak lantai kamar ketika tiba-tiba ia teringat
sesuatu.“Eh, Shasa kok sudah beberapa hari ini tidak melihat mama
mengetik?”
Mama
mengambil buku yang tadi ditutupnya. Tangannya membolak-balik halaman
buku sampai menemukan halaman yang sebelumnya sedang dibaca.
“Mama sedang gak mood menulis,” jawab mama. Perhatiannya sudah kembali tertuju pada huruf demi huruf yang ada di hadapannya.
“Loh, kenapa?” Shasa bertanya dengan heran.
Mama tersenyum simpul. “Aa..da.. deehh.. Mau tahu ajee..”
Shasa
memonyongkan bibirnya. “Huuu… Mama gak asyik ah,” katanya sambil
berjalan menuju pintu kamar. “Nanti kalau tidak menulis, tidak dapat
honor dari tulisan lagi loh, Ma,” Shasa mengingatkan.
“Oiya..
ya..,” Mama menutup buku yang baru saja dibacanya. “Kalau begitu mama
menulis saja lah sekarang. Kalau tidak dapat honor, nanti mama tidak
bisa membelikan es krim buat putri mama yang cantik.”
Shasa
terkikik-kikik mendengarnya. Itu enaknya punya mama penulis. Kalau mama
habis menerima honor, mama suka mentraktir Shasa es krim kesukaan
Shasa. Love you mom..
Erlita Pratiwi
erlitapratiwi @cbn .net .id



Posting Komentar