“Wajah
 Ayah adalah pemberian Tuhan. Ayah sudah seperti ini sejak bayi. Memang,
 Ayah bisa operasi plastik supaya wajah ini kelihatan tampan. Sayangnya 
Ayah tidak kaya. Seandainya kaya pun, Ayah tak mau operasi plastik. 
Lebih baik wajah Ayah tetap seperti ini daripada Ayah harus mengumpulkan
 ember dan tas kresek bekas dan membawanya ke dokter untuk modal operasi
 wajah Ayah. Jangan-jangan plastik-plastik bekas tadi akan meleleh kalau
 kena matahari. Hiii, seraam…”
Ayah dan Ibu tertawa. Menyebalkan. Huh!
“Kalau
 Ayah tidak boleh kena matahari, bagaimana kita bisa hidup. Ayah ‘kan 
tukang pos. Setiap hari harus berpanas-panas ke sana-kemari mengantar 
surat. Dari kerja itulah Ayah mendapat uang yang kita pakai untuk 
macam-macam: mulai dari makan sehari-hari, beli pakaian, bayar listrik, 
bayar sekolah, dan masih banyak lagi…” ujar Ibu melanjutkan.
Deg!
 Aku merasa nafasku sesak. Dan mataku terasa panas.Tiba-tiba begitu saja
 aku menubruk Ayah, memeluk, dan menciuminya.Di sela-sela tangis, aku 
cuma bisa berkata:
“Maafkan Cantika, Ayah…”
Ya,
 Ibu benar. Setiap hari Ayah berpanas-panas mengantar surat. Meskipun 
sudah ditutupi jaket, tetap saja kulit Ayah hitam. Dari kulit yang hitam
 terbakar matahari itu entah berapa liter keringat yang mengucur. 
Keringat itulah yang membuat aku bisa terus sekolah. Lalu, apa alasanku 
untuk tidak membanggakan orang itu, ayahku sendiri, yang telah bekerja 
keras demi aku, anaknya.
“Lho, lho, lho, ada apa ini?” kata Ayah sambil menerima pelukanku.
“Cantika,
 Cantika… Ayah bangga bisa berkumpul dengan kalian, bidadari-bidadari 
yang cantik. Ini anugerah Tuhan yang sangat besar. Tuhan sudah mengatur 
semuanya. Ayah yang buruk rupa ini bersanding dengan ibumu yang 
manis-ayu-cantik jelita. Kalau dua-duanya buruk rupa, ho ho ho, 
bagaimana Ayah bisa memperbaiki keturunan. Salah-salah wajah kamu bisa 
kotak-kotak…”
***
(Prih Suharto)
prih_suharto @yahoo .com

 


Posting Komentar