Jalan-jalan
ke pematang sawah dan kebun? Di pagi seperti ini? Pasti becek dan
licin. Belum lagi udara pegunungan yang menggigilkan tubuh. Brrr.. Lebih
enak melanjutkan tidur sambil berselimut.
Kemarin
sore Shasa baru saja tiba di rumah Yuyut. Mumpung hari senin besok
tanggal merah, mama mengajak papa dan Shasa mengunjungi Yuyut yang
tinggal di kaki Gunung. Yuyut itu panggilan sayang Shasa untuk kakek
mama. Usianya sudah 85 tahun.
Pagi
ini, matahari masih malu-malu menampakkan sinarnya. Malas rasanya
meninggalkan kehangatan selimut di tempat tidur. Namun Iyan, sepupunya,
mengajaknya menikmati suasana desa di pagi hari. Walaupun awalnya segan,
akhirnya Shasa mengiyakan ajakan Iyan. Mumpung sedang berlibur di desa,
kapan lagi bisa menikmati indahnya pagi dengan menyusuri pematang sawah
dan kebun?
Ditemuinya
mama yang sedang menyiapkan sarapan. Setelah mendapat ijin, Shasa
buru-buru mengganti bajunya dengan celana panjang dan kaos lengan
panjang untuk menangkal udara pagi yang dingin
Bertiga mereka menyusuri jalan desa menuju pematang sawah. Delu berjalan
paling
depan. Shasa memandang sekelilingnya dengan kagum. Hamparan padi tampak
seperti permadani berwarna hijau. Dari kejauhan terdengar
kambing-kambing mengembik di dalam kandangnya. Shasa menghirup nafas
dalam-dalam. Ahhh.. udara pagi di desa begitu segar. Gunung Ciremai
berdiri dengan gagahnya. Bersih. Tanpa ada bagian yang tertutup awan.
paling
depan. Shasa memandang sekelilingnya dengan kagum. Hamparan padi tampak
seperti permadani berwarna hijau. Dari kejauhan terdengar
kambing-kambing mengembik di dalam kandangnya. Shasa menghirup nafas
dalam-dalam. Ahhh.. udara pagi di desa begitu segar. Gunung Ciremai
berdiri dengan gagahnya. Bersih. Tanpa ada bagian yang tertutup awan.
“Hei..
jalannya jangan cepat-cepat dong,” seru Shasa ketika dilihatnya Delu
sudah jauh meninggalkan dirinya. Dipercepatnya langkahnya. Uhh..
ternyata tidak mudah berjalan cepat di pematang sawah.
Iyan yang berjalan di belakang Shasa tertawa mendengarnya.
“Kamu terbiasa berjalan di jalanan beraspal sih,” ledek Delu sambil menghentikan langkahnya.
Shasa
tidak menggubris ledekan itu. Ia sibuk berkonsentrasi dan menjaga
keseimbangan tubuhnya. Beberapa kali Shasa nyaris terpeleset. Untung
dengan sigap Iyan sempat memeganginya hingga ia tidak sampai terperosok
ke dalam sawah.
“Berhenti
dulu dong,” pinta Shasa dengan nafas sedkit terengah-engah. Ia langsung
menjatuhkan diri duduk di sebuah batu besar yang ada di dekatnya. Ia
yang awalnya kedinginan kini malah berkeringat. Akhirnya digulungnya
lengan bajunya. Ahh.. begini lebih nyaman, katanya dalam hati. Setelah
beristirahat sejenak mereka melanjutkan perjalanan.
Mereka kini berbelok menyusuri jalan kecil yang melintasi kebun. Kata Iyan,
kebun
ini milik Yuyut. Sesekali mereka berhenti. Delu dan Iyan bergantian
menerangkan nama-nama pohon yang ada di kebun Yuyut. Ada pohon Cengkeh,
Melinjo, Rambutan, Durian dan Nangka. Mereka juga memunguti bunga
cengkeh yang berjatuhan. Hmm.. Shasa baru tahu rupa pohon cengkeh. Delu
juga menunjukkan Cengkeh yang sudah bisa dipetik.
kebun
ini milik Yuyut. Sesekali mereka berhenti. Delu dan Iyan bergantian
menerangkan nama-nama pohon yang ada di kebun Yuyut. Ada pohon Cengkeh,
Melinjo, Rambutan, Durian dan Nangka. Mereka juga memunguti bunga
cengkeh yang berjatuhan. Hmm.. Shasa baru tahu rupa pohon cengkeh. Delu
juga menunjukkan Cengkeh yang sudah bisa dipetik.
“Nah, yang itu namanya pohon Pisang, Sha,” kata Delu sambil menunjuk sebuah pohon.
“Yeee.. itu sih aku juga tahu,” jawab Shasa dongkol. Bibirnya yang cemberut membuat pipinya menggembung.
“Kirain
kamu belum pernah lihat pohon pisang,” Delu berkata dengan kalem.
“Biasanya anak kota itu kalau ke desa jadi tulalit dan norak. Padi
dikira rumput. Orang sedang memandikan kerbau jadi tontonan. Malah ingin
ikut memandikan kerbau. Melihat sungai jernih dengan batu-batu
bersembulan langsung histeris dan turun ke sungai bermain air.”
Shasa
meringis mendengarnya. Benar juga yang dikatakan Delu. Tiba-tiba Shasa
mendesis sambil menggaruk-garuk tangannya yang tiba-tiba terasa gatal
dan panas. Dilihatnya bentol-bentol merah bermunculan.
“Aduh.. tanganku kenapa nih?” tanya Shasa panik.
“Sepertinya kamu terkena ulat,” kata Iyan yang berada di dekatnya.
“Ulat?!
Hiii…” Shasa bergidik geli. Apalagi ketika dilihatnya seekor ulat Bulu
yang berada di daun Jambu di dekat tempatnya berdiri. Ia langsung
melompat-lompat kegelian.
“Jangan digaruk, Sha, nanti semakin gatal,” kata Iyang melihat jari-jari Shasa tak berhenti bergerak.
“Aduh.. gatal sekali, aku tidak tahan,” keluh Shasa.
Delu yang tadi menghilang muncul dan menghampiri mereka. Tangannya meremas-remas segenggam daun.
“Pakai ini supaya tidak gatal,” kata Delu.
“Apaan tuh?” tanya Shasa tidak mengerti.
“Daun Cabai,” jawab Delu.
“Daun
Cabai itu bisa meredakan gatal-gatalmu,” Iyan membantu menerangkan.
Daun Cabai yang sudah hancur teremas-remas itu kemudian dibalurkan di
bagian tangan Shasa yang berbentol-bentol merah. Tak lama Shasa merasa
rasa gatal yang tadi menyerang berangsur-angsur menghilang.
“Bagaimana?” tanya Delu.
“Sudah tidak gatal seperti tadi,” sahut Shasa lega. “Terima kasih ya, kamu hebat deh bisa menyembuhkan gatal-gatal,” katanya lagi.
“Ah, biasa saja. Semua anak desa sini juga bisa seperti itu,” sahut Delu kalem. Namun tak urung wajahnya tersipu.
Mereka
kemudian berjalan beriringan menuju rumah Yuyut. Wah.. Ternyata alam
pedesaan bukan hanya menyimpan keindahan pemandangan tetapi juga banyak
pengetahuan dan hal-hal menarik lainnya.
Mama yang menyambut kedatangan mereka terkejut melihat lengan Shasa yang masih menyisakan bentol merah.
“Wah,
kalau begitu pagi ini Delu sudah menjadi pahlawan yang menyelamatkan
Shasa dari bentol-bentol akibat ulat bulu,” komentar mama setelah
menyimak cerita Shasa. Wajah Delu kembali bersemu merah.
“Iya, pahlawan daun Cabai karena memakai ramuan daun Cabai untuk menyembuhkan gatal-gatalku,” celetuk Shasa. Mama dan Iyan tertawa mendengarnya. Ha.. Ha.. Ha..
Erlita Pratiwi
erlitapratiwi @cbn .net .id
Erlita Pratiwi
erlitapratiwi @cbn .net .id



Posting Komentar