Rara
membolak-balik setumpuk kertas hasil ulangan umum semester ganjil yang
tadi dibagikan ibu guru di dalam kelas. Matematika: 89, Listening Bahasa
Inggris: 75, IPA: 79.5, Agama Islam aspek Ibadah: 74, Kesehatan: 88.
Waduhhh… Dibandingkan dengan saat Rara duduk di kelas dua,
nilai-nilainya kali ini merosot jauh.
Dengan
muram, Rara keluar dari kamarnya menuju kamar ibu. Siang hari seperti
ini, biasanya ibu sedang beristirahat sambil membaca buku.
“Tok..tok..tok..,”
Rara mengetuk pintu kamar ibu. Ibu memang mengajarkan Rara untuk
mengetuk pintu dan tidak masuk ke dalam kamar sebelum diijinkan.
“Ada
apa, Ra?” tanya ibu sambil menandai halaman buku yang sedang dibacanya.
Bukannya menjawab, Rara malah menyodorkan tumpukan kertas yang
dibawanya kemudian duduk di samping ibu. Dilihatnya ibu memperhatikan
nilai-nilainya. Tak lama kemudian ibu mengembalikan kertas-kertas itu
tanpa komentar.
“Ibu gak marah?” tanya Rara heran.
“Kenapa harus marah?” ibu balik bertanya.
“Nilai-nilai
Rara turun, Bu.. Habis, waktu ulangan umum kemarin itu, Rara kan sedang
sakit,” jawab Rara setengah merajuk. “Kalau nanti Ayah tahu, kira-kira
Ayah marah gak ya?”
“Hmmm… Memangnya kalau ayah atau ibu marah, nilai-nilai Rara bisa berubah jadi bagus?” tanya ibu.
Rara tersipu mendengarnya. Benar juga yang dikatakan ibu.
“Eh,
Rara mau jadi gajah, gak?” Mata Rara terbelalak mendengar pertanyaan
ibu yang aneh itu. Duhh.. Ibu ini bagaimana sih? Masa’ mentang-mentang
Rara doyan makan lantas ditawari jadi gajah?
“Maksud
ibu bukan gajah yang ada di kebun binatang tapi gajah pintar yang
bernama Ganesha,” jelas ibu lebih lanjut melihat kebingungan Rara.
“Ganesha itu siapa sih, Bu?” tanya Rara ingin tahu.
Ibu
menyalakan laptopnya. Tak lama kemudian sebuah gambar muncul di layar
laptop. Berkepala gajah dengan gading sebelah kanan yang patah, berbadan
manusia dan bertangan empat.

“Ini
yang namanya Ganesha,” ibu menjelaskan. “Ganesha adalah putra Dewa Siwa
dan Dewi Durga. Belalai Ganesha yang menjulur masuk ke dalam mangkok
yang berada di tangan kiri depan melambangkan Ganesha yang haus ilmu
pengetahuan. Mangkok itu sendiri berfungsi untuk menampung pengetahuan Ilmu
pengetahuan itu bukan hanya diperoleh dari sekolah. Bisa dari majalah,
surat kabar, televisi. Jadiiii… banyak-banyaklah mencari pengetahuan.
Tangan kanan Ganesha di bagian depan memegang gading yang dipatahkan.
Gading itu digunakan Ganesha untuk menulis. Maknanya: dalam
menuntut ilmu itu perlu pengorbanan. Kemudian ilmu harus dicatat supaya
tidak mudah lupa. Naahh.. Tangan kiri yang berada di belakang memegang
kapak yangpernah digunakan oleh Ganesha untuk berperang melawan raksasa.
Dalam menuntut ilmu, yang harus diperangi bukan raksasa tetapi
kemalasan. Sementara tangan kanan yang ada di belakang memegang tasbih.
Melambangkan hubungan dengan Sang Maha Pencipta. Jadi, dalam menuntut
ilmu tidak boleh lupa berdoa.” Ibu menjelaskan panjang lebar.
“Ganesha ini kemudian dijadikan lambang perguruan tinggi Institut Teknologi Bandung.” Ibu mengakhiri penjelasannya.
Rara
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Wahhh.. kalau begitu, Rara mau deh,
Bu, jadi gajah,” katanya. “Eh, maksud Rara, Rara pengen meniru Ganesha
ini,” sambungnya lagi. “Rajin mencari dan menampung ilmu pengetahuan,
rajin mencatatnya, berperang melawan kemalasan dan tidak lupa berdoa.”
“Itu baru Rara,” kata ibu sambil mengacungkan dua ibu jarinya.
“Siapa dulu dong ibunya,” jawab Rara. “Ibu gitu loh..”
“Semester depan nanti nilainya gak turun lagi dong…,” kata ibu.
Rara
tampak berfikir. “Eh, nnggg.. nnggg.. turun gak ya? Mudah-mudahan gak
turun deh..” Rara berkata sambil melangkah keluar dari kamar ibu. “Rara
ingin seperti Ganeshaaaaa…. Hidup Ganesha!”
Ibu hanya menggeleng-gelengkan kepala mendengarnya. Rara.. Rara..
BSD, 6 Januari 2009
Erlita Pratiwi [ erlitapratiwi@ cbn .net .id ]



Posting Komentar