Oleh Kak Eris TI 
"Eris Trisna" <eris.trisna @yahoo .co.id>
Di Sukabumi, tepatnya di sebuah kampung Duren Gede Desa Kutajaya, ada seorang anak yang bernama Adul. Adul  adalah putra semata wayangnya Pak Karta dan Bu Ijah. Di
 mata taman-temanya, Adul adalah seorang teman yang baik, sopan, dan 
juga suka membantu teman-temannya. Namun, di balik kebaikannya itu, dia 
mempunyai satu kelemahan yaitu rasa takut, apalagi kalau hari telah 
gelap. Hampir Semua orang dikampungnya kenal dengan Adul, si penakut. 
Walaupun demikian, Adul senang membantu dan tidak pernah membeda-bedakan
 orang, baik itu orang  kaya atau pun miskin. Kalau ada yang meminta pertolongannya, langsung dibantunya tanpa berpikir terlebih dahulu.
Ada
 suatu kebiasaan Adul yang mungkin kurang baik yaitu ke mana pun dia 
pergi, dia selalu minta ditemani, baik oleh temannya maupun oleh 
keluarganya dan temannya itu minimal dua orang. Kalau dia berjalan 
selalu ingin di tengah, tidak mau di depan atau pun di belakang. 
Terlebih-lebih jika waktunya sudah malam. Karena jika sudah malam, Adul 
lebih memilih untuk tidak pulang dan itu merepotkan yang mengundangnya.
Pernah
 suatu malam di bulan Ramadhan (bulan puasa umat Islam), dia ditugaskan 
gurunya untuk menggantikan posisi beliau untuk menghadiri peringatan Nuzulul Qur’an di
 daerah Cicurug. Seperti biasa, dia pergi ditemani oleh teman-temannya. 
Kedua temannya itu bernama Dadang dan Tono. Mereka sebenarnya ingin 
pergi bersama teman-teman yang lainnya, maklum yang minta adalah guru 
mereka jadi tidak bisa menolak permintaan gurunya itu. Maka berangkatlah
 mereka bertiga menghadiri peringatan Nuzulul Qur’an itu.
 Sepulangnya menghadiri Nuzulul Qur’an,
 hari telah larut malam. Sedang mereka tahu, jalan menuju pulang harus 
melewati perkebunan pisang yang luas dan pekuburan umum yang tidak kalah
 luasnya dengan kebun pisang tersebut. Tentu saja membuat dada Adul berdetak
 keras. Di teangah perjalanan pulang, perasaan Adul tidak karuan. Lalu, 
dia terus merangsek ke depan karena takut tertinggal, sehingga temannya 
yang berada di depan merasa terdorong. Karena dorongan Adul cukup keras,
 temannya yang berada di depan pun tersungkur dibuatnya. Dengan sedikit 
kesal temannya bangkit dari jatuhnya dan berkata: “Gimana sih, jalan
 kok seradak-seruduk begitu, bajuku kan jadi kotor?”. “Maaf, maaf ya, 
habis kamu jalannya kaya orang yang mau nagih hutang, sih!” 
jawab Adul dengan sedikit menggoda. “Ah, dasarnya kamu saja yang 
penakut, dikasih sedikit kencang saja sudah seradak-seruduk gimana kalau
 lari. Timpal Dadang sambil menyindir Adul.
Setelah
 beberapa saat, mereka pun berjalan kembali. Di tengah perjalanan, Tono 
yang berada di belakang Adul merasa pengen kencing. “Aduh, gimana nih,
 kalau aku kencing dulu pasti aku tertinggal jauh. Tapi kalau aku lebih 
dulu, mungkin aku masih bisa menunggu. Gumam Tono dalam hatinya. Setelah
 bulat dengan niatnya, Tono pun akhirnya lari mendahului kedua temannya.
 Adul yang merasa kaget akan perilaku Tono, akhirnya dia pun lari dengan
 sekencang-kencangnya. Sampai-sampai Tono yang lebih dulu larinya, dapat
 dia lampaui dengan mudahnya. Maklum saja, dulunya dia pernah Juara 
Maraton tingkat RT di kampungnya.
Tono
 pun menghentikan larinya karena merasa aneh akan perilaku temannya itu.
 Kebetulan, karena di dekatnya itu ada pohon besar yang begitu rindang 
yang cocok untuk buang air kencing. Lalu, dia pun menghampiri pohon 
tersebut dan kencing di baliknya. Dadang yang kini berada di belakang, 
menggeleng-gelengkan kepala karena aneh melihat kedua temannya itu. 
Lalu, Dadang pun mempercepat langkahnya untuk mengejar kedua temannya. 
Tidak seberapa jauh, Dadang melihat Tono yang baru kembali dari balik 
pohon besar.
Dadang
 pun menghampiri Tono dan berkata, “Oh…jadi ini yang membuatmu lari 
lebih dulu, karena kamu pengen kencing?”. “Iya benar Dang, aku
 sudah tidak kuat lagi menahan rasa pipisku ini. Lagi pula, dengan aku 
berada di depan kalian, aku lebih nyaman untuk membuang pipisku dan aku 
tidak akan tertinggal jauh dari kalian. Oh, iya, ngomong-ngomong kenapa 
si Adul juga lari, Dang? Kata Tono balik bertanya. “Justru itu, semua 
ini gara-gara ulahmu yang lari begitu saja, coba kamu bilang dulu tadi, 
mungkin si Adul tidak akan lari. Kamu sendiri sudah tahu, Adul itu kan 
penakut, eh… malah kamu takut-takutin!”. Jawab Dadang  sambil menasehati Tono. Setelah perbincangan itu, kedunya melanjutkan perjalanan pulangnya.
Adul
 yang lari begitu kencang, baru tersadar setelah dirinya lari sendirian,
 dia terkaget-kaget terlebih lagi sekitar sepuluh meter di depannya, 
dari arah kebun pisang ada yang melambai-lambai putih mengarah padanya. 
Kontan saja Adul semakin takut dibuatnya.  “Hantuuu…! Teriaknya sambil berlari berbalik menuju teman-temannya.
Di tengah pelariannya, samar-samar Adul melihat kedua temannya yang sedang menuju ke arahnya.
 tak menunggu lama, Adul pun mempercepat larinya dan langsung menyelinap
 di balik baju Dadang. Tono dan Dadang pun merasa semakin aneh dengan 
perilaku temannya itu. Dengan tenang Dadang pun bertanya, “Ada apa Dul, 
kenapa kamu lari sebegitu kencangnya, kayak seperti dikejar anjing 
saja?”. Yang ditanya tidak langsung menjawab melainkan menutupi mukanya 
dengan baju Dadang. Napasnya terdengar ngos-ngosan karena kecapean. 
Setelah merasa aman, Adul keluar dari persembunyiannya dan menunjuk 
sesuatu yang melambai-lambai tadi. Namun sayang, yang melambai-lambai 
tadi telah menghilang. Yang terlihat hanyalah daun pisang yang masih 
muda bergerak-gerak turun-naik karena tertiup angin. 
Dul, Dul, ini kan malam Nuzulul Qur’an. Bulan puasa! Mana mungkin ada hantu alias setan. Kata pak ustad Sobri juga, di bulan puasa itu tidak setan, karena dibelenggu oleh Allah SWT. Jadi tidak usah takut,” kata Tono mengingatkan Adul.
“Kenapa atuh, tadi
 kamu lari duluan?” Tanya Adul merasa tidak enak karena dipojokkan. 
“Maaf, tadi saya hanya bermaksud buang air kecil alias pipis. Karena 
sudah kebelet, aku lari duluan agar tidak tertinggal jauh oleh kalian. 
Oh, ya Dul, ngomong-ngomong aku tetap kagum sama kamu, karena baru kali 
ini ada seorang pelari maraton tengah malam, kata Tono bercanda. 
Mendengar gurauan Tono itu, semuanya menjadi tertawa. Tono pun tidak 
tahan menahan kelucuan sikapnya yang penakut itu. Lalu, dia pun 
tersenyum geli dibalik gelapnya malam.
 Keesokan
 harinya, Tono dan Dadang pergi ke rumah Adul dengan maksud mengajaknya 
nonton Golek nanti malam. Setibanya di rumah Adul, terlihat seorang 
wanita tua sedang berbincang dengannya. Lalu, wanita tua itu pun pergi 
meninggalkan Adul. Tono dan Dadang langsung menghampiri Adul dan 
mengutarakan maksud kedatangannya. “Dul, kita nonton yuk, karena nanti 
malam ada pertunjukan wayang Golek Asep Sunandar di rumahnya si Ratna, 
mau ikut ngak?” ajak Dadang. “Iya, Dul, karena wayang Golek amat langka 
di desa kita!” tambah Tono dengan semangat.
 “Duh,
 maaf ya teman-taman, hari ini aku sudah janji sama Nek Tini untuk 
megantarkan hasil panennya ke Kang Jafra. Karena kalau di tunda, Nek 
Tini tidak mendapatkan uang dari hasil panennya, kasihan kan kalau dia 
tidak makan gara-gara aku tidak mengantarkan hasil panenannya.” Jawab 
Adul dengan bijak.  “Ya sudah, kalau kamu tidak bisa ikut, 
tapi kamu hati-hati ya, jangan sampai kemalaman”. kata Dadang. Lalu, 
Dadang dan Tono pun pergi meninggalkan Adul.
Suatu
 sore, sekitar pukul 16.00 selepas ashar, Adul pergi ke rumahnya Kang 
Jafra dengan membawa sekarung hasil panennya Nek Tini. Di tengah 
perjalanan, Adul merasa kelelahan, “Duh, rumah Kang Jafra rupanya jauh 
juga, buktinya sudah hampir maghrib aku masih di jalan”. Keluhnya. 
Sejenak dia beristirahat, lalu dilanjutkan kembali perjalanannya menuju 
rumah Kang Jafra.
Sesampainya
 di rumah Kang Jafra, Adul bertemu dengan istrinya. Dia pun langsung 
menceritakan maksud kedatangannya. Istri Kang Jafra menyimak pokok 
pembicaraan Adul dengan seksama. Lalu, dia pun berkata, "Duh …gimana ya 
nak Adul, Kang Jafranya sedang tidak ada di rumah, karena tadi sore dia 
di undang acara selamatan di kampung sebelah. Kemungkinan Kang Jafra 
pulang sekitar jam sembilanan." Keluh istri Kang Jafra.
Dengan
 terpaksa, malam itu Adul harus menunggu Kang Jafra pulang dari undangan
 tetangganya. Sambil menunggu kepulangan Kang Jafra, Adul 
berbincang-bincang dengan istri Kang Jafra dengan ditemani kedua anak 
kecilnya. Setibanya Kang Jafra, Adul langsung beranjak dari tempat 
duduknya dan menceritakan maksud kedatangannya. Kang Jafra menyimaknya 
dengan seksama, lalu dia pun tersenyum karena tahu tamunya itu takut 
pulangnya kemalaman. “Lebih baik kamu nginap saja malam ini, besok 
paginya baru kamu antarkan uang hasil panen Nek Tini, bagaimana?”. Tanya
 Kang Jafra. “Terima kasih sebelumnya kang Jafra, tapi saya telah 
berjanji akan mengantarkan uang ini langsung kepada Nek Tini sepulangnya
 dari sini”. Jawab Adul.
Karena
 tidak bisa menahannya lagi, lalu Kang Jafra mengambil sesuatu dibalik 
kantong baju dan memberikannya kepada Adul. “Ya sudah, ini uangnya dan 
hati-hatilah di jalan karena malam semakin larut”. Pesan kang Jafra 
kepada Adul. Tak seberapa lama, Adul pun berpamitan pulang kepada 
keluarga Kang Jafra. 
Sepulangnya
 dari rumah Kang Jafra, Adul tidak henti-hentinya berdo’a kepada Allah 
SWT agar terhindar dari segala gangguan. Terutama gangguan dari SI 
PENGGANGGU SEJATI!! Yaitu setan. Malam itu, udara kurang bersahabat 
belum lagi rintikan hujan yang terus mengguyur tubuhnya. Angin yang 
bertiup membuat dedaunan mengeluarkan nada-nada sumbang dan juga 
menyeramkan di hati Adul. Malam pun semakin angker karena adanya 
lolongan anjing yang terus mengikuti langkah Adul. Maka, semakin 
sempurnalah ketakutan Adul malam itu. Adul agak mempercepat langkahnya 
agar cepat sampai di rumah Nek Tini.
Namun,
 semakin dia mempercepat lajunya, dia merasa ada yang ganjil. Setiap 
kali dia melangkah, dia mendengar suara yang mengikutinya. “Sreek! 
Sreek!” tentu saja hal itu membuat Adul semakin ketakutan. Dia pun lebih
 mempercepat lagi langkahnhya. Anehnya suara itu pun semakin cepat pula 
mengikuti. Tak ayal lagi, Adul, si penakut itu mengambil langkah seribu.
 Lagi-lagi, si suara di belakangnya pun mengejar dengan langkah seribu 
pula. Adul stress. Dengan kesadarannya yang tidak lagi seimbang karena 
rasa takut yang sangat, Adul tidak bisa menahan keseimbangan badannya 
dan akhirnya terjatuh karena kakinya tersandung batu. 
Giginya patah dan kakinya terkilir sakit. Dengan menahan rasa sakit dan 
rasa takut yang sangat, Adul tidak membalikkan badan. Tubuhnya masih 
dalam keadaan telungkup. “Toloong, jangan ganggu aku! Pergi! Pergi!” teriaknya.
Namun,
 yang disuruh pergi tidak bereaksi. Karena sudah lama dia berteriak dan 
yang diteriakinya diam saja, Adul pun memberanikan diri membalikkan 
badannya. Hups! Hah, mana orang yang mengikutiku tadi? Batinnya
 heran. Lalu dia mengedarkan pandangannya. Gelap dan tidak ada orang di 
situ. Adul mulai tenang. Lalu dengan perasaan agak berani, dia mengambil
 sandalnya yang tadi terlempar akibat jatuh. Saat memeriksa sandalnya 
tidak ada yang putus, dia pun melanjutkan perjalanannya. Adul tidak 
sadar, bahwa suara yang mengikutinya itu berasal dari sandalnya yang 
basah dan penuh dengan tanah di bawahnya.
Sesaat
 melangkahkan kakinya lagi, suara yang membuntutinya tadi, terdengar 
lagi di telinganya. “Sreek! Sreek!” Mengikuti irama langkahnya. Dengan 
memberanikan diri, dia membalikkan badannya dan tidak nampak orang yang 
mengikutinya. Merasa aman. dia mencoba berjalan kembali, namun suara itu
 kembali mengikuti langkahnya. Dia mempercepat langkahnya dengan lari 
sekencang-kencangnya hingga sandal yang dipakainya putus karena tertahan
 tanah basah. Dia pun mencoba mengambil sandalnya kembali yang berada 
lima meter di belakangnya. Dengan modal nekad, dia 
membalikkan badannya bermaksud mengambil sandalnya. Anehnya, suara yang 
mengikutinya kali ini bukan dua melainkan satu, “sreek” dalam setiap 
langkahnya. Baru tiga langkah dia berjalan, sandalnya yang satunya lagi 
pun putus. Dia mengambilnya dan menyimpannya di tangan kanannya. Dia 
berjalan tanpa beralaskan sandal. Dia merasa aneh, karena suara yang 
mengikuti itu ikut menghilang bersamaan dengan sandalnya yang putus. 
Dengan penasaran, dia pun memakai sandal putusnya  dan  mencoba
 melangkah lagi dan suara itu pun mengikutinya lagi. “Oh…rupanya ini 
yang membuat gigiku patah, lututku copot, dan kedua sandalku putus!” 
katanya kesal sambil melepas dan membuang tanah yang menempel pada 
sandal putusnya.
Setelah
 membuang tanah yang ada di sandalnya, Adul pun bangkit dan memungut 
sandal yang satunya lagi. Tak seberapa lama, Adul pun melanjutkan 
perjalanan pulangnya. “Duh, kenapa aku penakut banget. Padahal tidak
 ada apa-apa. Betul kata Ustadz Sobri, sebenarnya keadaan kita sangat 
bergantung pada prasangka pikiran kita sendiri. Aku terlalu banyak 
mengada-ada yang tidak ada!” batinnya mengutuk atas kebodohannya. 
Akhirnya sepanjang jalan, dia hanya tertawa-tawa geli mengingat akan 
ulahnya yang penakut. Mungkin jika ada orang yang mendengar ringkikan 
tawa Adul, mereka akan berlari tunggang-langgang dikira Adul setan 
gila!.
Sejak
 saat itu, Adul menjadi pemberani. Kapan pun dan ke mana pun dia pergi, 
tidak pernah merasa takut walaupun tidak ditemani oleh seorang pun. 
Ternyata hantu itu tidak pernah ada! Gumamnya dalam hati.
Sumber :
 http://www.ceritaanak.org/index.php?option=com_content&view=article&id=126:gara-gara-sandal-capit&catid=40:cerita-anak-modern-orisinil&Itemid=60

 


Posting Komentar