 Dimensi
 batini dalam ajaran Islam dihimpun dalam tiga jilid ensklopedi. 
Populer, akademis, tapi kering. Estetika yang mestinya menyertai 
kajian-kajian esoterik belum disentuh secara optimal.
Dimensi
 batini dalam ajaran Islam dihimpun dalam tiga jilid ensklopedi. 
Populer, akademis, tapi kering. Estetika yang mestinya menyertai 
kajian-kajian esoterik belum disentuh secara optimal.
Dalam
 khazanah Islam dikenal istilah eksoterik dan esoterik. Eksoterik berupa
 pengamalan keagamaan yang bersifat lahiri, seperti salat, puasa, dan 
haji, dari sudut pandang fikih. Sedangkan esoterik adalah pengamalan 
yang bersifat batini. Bentuknya bisa melalui zikir, muhasabah, bisa juga dengan salat dan puasa.
 
Dalam Islam, dua model pengamalan keagamaan itu mesti mendapat tempat yang seimbang, agar hidup seseorang tidak pincang. Memberikan tekanan kepada salah satu dari dua model itu akan menyebabkan kepincangan. Jika menonjolkan sisi eksoterik saja, jiwa seseorang akan kering. Sedangkan jika mengedepankan esoterik saja, bisa jadi seseorang keluar dari syariat.
 
Tasawuf adalah dimensi esoterik dalam Islam. Para pelakunya dikenal dengan sebutan sufi. Meski dalam Al-Quran istilah tasawuf tidak dikenal, bukan berarti pelaksanaannya di zaman Nabi Muhammad SAW tidak ada. Di zaman Nabi sudah ada ahli suffah, yang tinggal di Masjid Nabawi. Mereka adalah para pencinta dan pencari ilmu. Di antara mereka ada yang sangat terkenal dan terbanyak meriwayatkan hadis, yakni Abdurrahman bin Shakhr Al-Azdi atau yang populer dengan sebutan Abu Hurairah.
 
Menjalani hidup secara esoterik yang berlebihan juga pernah dilakukan para sahabat Nabi, dan karena itu Nabi pun menegurnya. Dua kisah berikut akan memberi gambaran bahwa dimensi esoterik yang berlebihan akan mengabaikan masalah duniawi, dan itu membuat Nabi Muhammad SAW menegur umatnya.
Kisah pertama dialami 'Abd Allah bin 'Amr bin al-'Ash. Istri 'Abd Allah bin 'Amr mengadu kepada Nabi tentang perilaku zuhud (mengabaikan urusan duniawi) yang dilakukan suaminya. "Dia menyendiri sehingga tidak tidur, tidak berbuka (puasa), tidak mau makan daging, dan tidak menunaikan kewajiban kepada keluarganya."
 
Nabi kemudian mendatangi 'Abd Allah bin 'Amr dan bertanya, "Wahai 'Abd Allah bin 'Amr, bagaimana tentang berita yang sampai kepadaku mengenai dirimu? Engkau tidak tidur?" Dengan tenang 'Abd Allah bin 'Amr menjawab, "Dengan itu aku ingin aman dari marabahaya yang besar." Nabi pun bertanya, "Dan sampai kepadaku bahwa engkau pun tidak berbuka?" Ia menjawab, "Dengan itu aku menginginkan yang lebih baik di surga."
 
Nabi masih bertanya, "Dan sampai kepadaku bahwa engkau tidak menunaikan hak-hak keluargamu?" 'Abd Allah bin 'Amr menjawab, "Dengan itu aku menginginkan perempuan yang lebih baik di akhirat daripada mereka."
 
Atas jawaban seperti itu, Nabi pun bersabda, "Wahai 'Abd Allah bin 'Amr, bagimu ada teladan yang baik pada Rasulullah. Dan Rasulullah itu berpuasa dan berbuka, makan daging, dan menunaikan untuk keluarganya hak-hak mereka. Wahai 'Abd Allah bin 'Amr, sesungguhnya Allah mempunyai hak atas engkau, sesungguhnya badanmu mempunyai hak atas engkau, dan sesungguhnya keluargamu mempunyai hak atas engkau."
 
Kisah kedua dialami Usman bin Madh'un. Mulanya, istri Usman bertandang ke rumah istri-istri Nabi Muhammad di Madinah. Istri Usman datang dalam keadaan lusuh, baik fisik maupun pakaiannya. Maka, para istri Nabi pun bertanya, "Apa yang terjadi pada dirimu? Tidak adakah di kalangan Quraish orang yang lebh kaya dari suamimu?" Istri Usman menjawab, "Kami tidak mendapat apa-apa dari dia. Sebab malam harinya ia beribadah dan siang harinya berpuasa." Itu sebabnya, para istri Nabi mengadukannya kepada beliau.
 
Nabi Muhammad SAW lalu menemui Usman dan bertanya, "Hai Usman, tidakkah padaku ada teladan bagimu?" Usman bin Madh'un menjawab, "Demi ayah-ibuku, engkau memang demikian." Nabi bertanya, "Apakah benar engkau berpuasa setiap hari dan tidak tidur setiap malam?" Ia menjawab, "Benar, aku memang melakukannya." Atas jawaban itu, Nabi pun bersabda, "Janganlah engkau lakukan! Sesungguhnya matamu mempunyai hak atas engkau, dan keluargamu mempunyai hak atas engkau. Maka, salatlah dan tidurlah, puasalah dan berbukalah."
Kisah 'Abd Allah bin 'Amr bin al-'Ash dan Usman bin Madh'un itu memberi gambaran kepada kita bahwa mereka berdua telah mengamalkan dimensi esoterik yang berlebihan. Mereka tidak sekadar melaksanakan salat dan puasa yang berlebihan untuk sampai pada yang batini. Bahkan lebih dari itu, menelantarkan keluarganya, baik secara moril maupun materiil. Dan inilah yang disebut zuhud yang menafikan dunia untuk mendapatkan akhirat. Padahal, dengan cara seperti itu, Nabi Muhammad SAW menegur keduanya. Sebab badan dan keluarganya juga punya hak untuk diperhatikan.
Buku Ensiklopedi Tasawuf ini, yang terdiri dari tiga jilid, ditulis 24 pakar dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Ditulis dalam entri-entri (tiap-tiap entri terdiri dari lima hingga enam halaman) yang dikelompokkan dalam empat kategori: tokoh sufi, tarekat kaum sufi, istilah tasawuf, dan kitab tasawuf. Apa, siapa, dan bagaimana tasawuf terjawab cukup bagus dalam ensiklopedi ini. Ditulis dalam bahasa ilmiah populer, dan di akhir tulisan disertakan bahan bacaan sebagai sumber utama rujukan.
Dengan demikian, jika seseorang masih belum cukup dengan apa yang ada di buku ini, ia bisa mencari informasi dari buku-buku yang disertakan dalam "bahan bacaan" itu. Hal ini cukup membantu, dan pembaca tidak perlu bersusah payah mencaritahu dari mana sumber bacaan entri-entri yang dibahas.
Memang tidak semua bahan bacaan itu masih bisa dicari di toko-toko buku karena tahun terbitnya sudah lama. Ada buku rujukan yang terbit pada 1953, berbahasa Inggris. Untuk mencarinya, tentu didutuhkan ketelatenan karena mungkin hanya bisa diakses lewat perpustakaan besar.
Secara keseluruhan, buku ini tampil cukup prima. Disusun secara alfabetis, dari A sampai Z, dari tasawuf Qurani sampai tasawuf salafi, dari tokoh-tokoh mancanegara sampai dalam negeri. Tapi, karena yang terlibat dalam penyusunan buku ini adalah para akademisi, tampaknya sisi estetikanya kurang mendapat sentuhan. Foto dan ilustrai memang ada, tapi jumlahnya sangat minim dan ukurannya kecil.
Buku ini akan lebih bernas bila foto, ilustrasi, tabel, dan peta (bisa menjelaskan persebaran ajaran suatu tarekat) dimunculkan dalam setiap entri dengan ukuran yang cukup signifikan. Keindahan dari halaman ke halaman akan terasa. Dengan tampilan seperti sekarang, pembaca lebih banyak disuguhi aksara dan kurang ada sentuhan estetika. Maka, pembahasan yang esoterik itu menjadi kering.
Dalam Islam, dua model pengamalan keagamaan itu mesti mendapat tempat yang seimbang, agar hidup seseorang tidak pincang. Memberikan tekanan kepada salah satu dari dua model itu akan menyebabkan kepincangan. Jika menonjolkan sisi eksoterik saja, jiwa seseorang akan kering. Sedangkan jika mengedepankan esoterik saja, bisa jadi seseorang keluar dari syariat.
Tasawuf adalah dimensi esoterik dalam Islam. Para pelakunya dikenal dengan sebutan sufi. Meski dalam Al-Quran istilah tasawuf tidak dikenal, bukan berarti pelaksanaannya di zaman Nabi Muhammad SAW tidak ada. Di zaman Nabi sudah ada ahli suffah, yang tinggal di Masjid Nabawi. Mereka adalah para pencinta dan pencari ilmu. Di antara mereka ada yang sangat terkenal dan terbanyak meriwayatkan hadis, yakni Abdurrahman bin Shakhr Al-Azdi atau yang populer dengan sebutan Abu Hurairah.
Menjalani hidup secara esoterik yang berlebihan juga pernah dilakukan para sahabat Nabi, dan karena itu Nabi pun menegurnya. Dua kisah berikut akan memberi gambaran bahwa dimensi esoterik yang berlebihan akan mengabaikan masalah duniawi, dan itu membuat Nabi Muhammad SAW menegur umatnya.
Kisah pertama dialami 'Abd Allah bin 'Amr bin al-'Ash. Istri 'Abd Allah bin 'Amr mengadu kepada Nabi tentang perilaku zuhud (mengabaikan urusan duniawi) yang dilakukan suaminya. "Dia menyendiri sehingga tidak tidur, tidak berbuka (puasa), tidak mau makan daging, dan tidak menunaikan kewajiban kepada keluarganya."
Nabi kemudian mendatangi 'Abd Allah bin 'Amr dan bertanya, "Wahai 'Abd Allah bin 'Amr, bagaimana tentang berita yang sampai kepadaku mengenai dirimu? Engkau tidak tidur?" Dengan tenang 'Abd Allah bin 'Amr menjawab, "Dengan itu aku ingin aman dari marabahaya yang besar." Nabi pun bertanya, "Dan sampai kepadaku bahwa engkau pun tidak berbuka?" Ia menjawab, "Dengan itu aku menginginkan yang lebih baik di surga."
Nabi masih bertanya, "Dan sampai kepadaku bahwa engkau tidak menunaikan hak-hak keluargamu?" 'Abd Allah bin 'Amr menjawab, "Dengan itu aku menginginkan perempuan yang lebih baik di akhirat daripada mereka."
Atas jawaban seperti itu, Nabi pun bersabda, "Wahai 'Abd Allah bin 'Amr, bagimu ada teladan yang baik pada Rasulullah. Dan Rasulullah itu berpuasa dan berbuka, makan daging, dan menunaikan untuk keluarganya hak-hak mereka. Wahai 'Abd Allah bin 'Amr, sesungguhnya Allah mempunyai hak atas engkau, sesungguhnya badanmu mempunyai hak atas engkau, dan sesungguhnya keluargamu mempunyai hak atas engkau."
Kisah kedua dialami Usman bin Madh'un. Mulanya, istri Usman bertandang ke rumah istri-istri Nabi Muhammad di Madinah. Istri Usman datang dalam keadaan lusuh, baik fisik maupun pakaiannya. Maka, para istri Nabi pun bertanya, "Apa yang terjadi pada dirimu? Tidak adakah di kalangan Quraish orang yang lebh kaya dari suamimu?" Istri Usman menjawab, "Kami tidak mendapat apa-apa dari dia. Sebab malam harinya ia beribadah dan siang harinya berpuasa." Itu sebabnya, para istri Nabi mengadukannya kepada beliau.
Nabi Muhammad SAW lalu menemui Usman dan bertanya, "Hai Usman, tidakkah padaku ada teladan bagimu?" Usman bin Madh'un menjawab, "Demi ayah-ibuku, engkau memang demikian." Nabi bertanya, "Apakah benar engkau berpuasa setiap hari dan tidak tidur setiap malam?" Ia menjawab, "Benar, aku memang melakukannya." Atas jawaban itu, Nabi pun bersabda, "Janganlah engkau lakukan! Sesungguhnya matamu mempunyai hak atas engkau, dan keluargamu mempunyai hak atas engkau. Maka, salatlah dan tidurlah, puasalah dan berbukalah."
Kisah 'Abd Allah bin 'Amr bin al-'Ash dan Usman bin Madh'un itu memberi gambaran kepada kita bahwa mereka berdua telah mengamalkan dimensi esoterik yang berlebihan. Mereka tidak sekadar melaksanakan salat dan puasa yang berlebihan untuk sampai pada yang batini. Bahkan lebih dari itu, menelantarkan keluarganya, baik secara moril maupun materiil. Dan inilah yang disebut zuhud yang menafikan dunia untuk mendapatkan akhirat. Padahal, dengan cara seperti itu, Nabi Muhammad SAW menegur keduanya. Sebab badan dan keluarganya juga punya hak untuk diperhatikan.
Buku Ensiklopedi Tasawuf ini, yang terdiri dari tiga jilid, ditulis 24 pakar dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Ditulis dalam entri-entri (tiap-tiap entri terdiri dari lima hingga enam halaman) yang dikelompokkan dalam empat kategori: tokoh sufi, tarekat kaum sufi, istilah tasawuf, dan kitab tasawuf. Apa, siapa, dan bagaimana tasawuf terjawab cukup bagus dalam ensiklopedi ini. Ditulis dalam bahasa ilmiah populer, dan di akhir tulisan disertakan bahan bacaan sebagai sumber utama rujukan.
Dengan demikian, jika seseorang masih belum cukup dengan apa yang ada di buku ini, ia bisa mencari informasi dari buku-buku yang disertakan dalam "bahan bacaan" itu. Hal ini cukup membantu, dan pembaca tidak perlu bersusah payah mencaritahu dari mana sumber bacaan entri-entri yang dibahas.
Memang tidak semua bahan bacaan itu masih bisa dicari di toko-toko buku karena tahun terbitnya sudah lama. Ada buku rujukan yang terbit pada 1953, berbahasa Inggris. Untuk mencarinya, tentu didutuhkan ketelatenan karena mungkin hanya bisa diakses lewat perpustakaan besar.
Secara keseluruhan, buku ini tampil cukup prima. Disusun secara alfabetis, dari A sampai Z, dari tasawuf Qurani sampai tasawuf salafi, dari tokoh-tokoh mancanegara sampai dalam negeri. Tapi, karena yang terlibat dalam penyusunan buku ini adalah para akademisi, tampaknya sisi estetikanya kurang mendapat sentuhan. Foto dan ilustrai memang ada, tapi jumlahnya sangat minim dan ukurannya kecil.
Buku ini akan lebih bernas bila foto, ilustrasi, tabel, dan peta (bisa menjelaskan persebaran ajaran suatu tarekat) dimunculkan dalam setiap entri dengan ukuran yang cukup signifikan. Keindahan dari halaman ke halaman akan terasa. Dengan tampilan seperti sekarang, pembaca lebih banyak disuguhi aksara dan kurang ada sentuhan estetika. Maka, pembahasan yang esoterik itu menjadi kering.
 Herry Mohammad
Sumber :
 http://dzikir.org/index.php/resensi-buku-islam/119-ensiklopedi-tasawuf

 


Posting Komentar